Kritik seni sebagai ilmu pengetahuan terdiri atas kumpulan teori sebagai hasil pengkajian yang teliti oleh pakar estetika dan pakar teori seni. Pada dasarnya pengetahuan ini dikembangkan dari kenyataan di lapangan. Teori kritik seni mencangkup segala sesuatu yang berhubungan dengan persyaratan dan metodologi yang deperlukan dalam kegiatan mengapresiasi dan menilai karya seni. Pada prinsipnya ada dua pendekatan yang dilakukan untuk membangun teori kritik seni. 1) Berakar pada pendekatan filsafat metafisis yang melahirkan tipe kritik yang bersifat dogmatis.
2) Pendekatan empiric modern yang mengpergunakan data objektif sebagai bassis penilaian karya seni.
(Osborne, 1995)
Eksistensi kritik seni masih menjadi ajang perdebatan
(Dewey, 1980; Stolnizt, 1971)
Bahwa kritik seharusnya merupakan aktivitas evaluasi, karya seni adalah objek pengamatan estetik, kritik tidak perlu sampai pada penyimpulan nilai, penghakiman karena dengan deskripsi dan pembahasan yang lengkap sudah mencukupi bagi penangkapan makna estetis
(Aschner,dkk. dalam Bangun, 2001:3)
Kritik sebagai kajian rinci dan apresiatif dengan analisis yang logis dan argumentatif untuk menafsirkan karya seni. Aktivitas evaluasi kritik seni harus sampai pada pernyataan nilai baik dan buruk bahkan sampai penentuan kedudukan karya seni dalam konteks karya yang sejenis.
(Kuspit, 1994)
Aktivitas kritik merupakan seni tersendiri, artinya seorang kritikus adalah individu kreatif yang mengungkap makna seni.
Kesimpulan yang dapat diambil dari pendapat para pakar adalah bahwa kritik seni adalah aktivitas pengkajian yang serius terhadap karya seni.
Tujuan kritik seni adalah evaluasi seni, apresiasi seni, dan pengembangan seni ke taraf yang lebih kreatif dan inovatif. Bagi masyarakat kritik seni berfungsi untuk memperluas wawasan seni. Bagi seniman kritik tampil sebagai ‘cambuk’ kreativitas. Suatu ketika kritik seni berperan memperkenalkan karakteristik seni baru. Kebangkitan seni modern, misalnya, sukar dipisahkan dari aktivitas kritik.
Dalam kritik seni sesungguhnya tedapat tiga asumsi terpenting, yakni:
1) Kritik sebagai aktivitas apresiasi seni
2) Kritik sebagai aktivitas penghakiman
3) Kritik sebagai aktivitas seni tersendiri
Dalam eksistensi kritik seni seperti yang diuraikan di atas, tampak peran kritik sangat vital menentukan perkembangan seni ditengah masyarakat, baik untuk seni tari, seni music, seni sastra, seni teater dan film, maupun untuk seni rupa.
- 1. Alat Kritik Seni
Bekal atau perlengkapan yang harus dimiliki kritikus seni sehingga penilaiannya berbeda dengan orang kebanyakan, sebagai berikut:
1) Seorang kritikus harus mempunyai cita rasa seni yang terbuka, artinya mempunyai kapasitas mengahargai kreativitas artistic yang sangat beragam. Mengapresiasikan dengan baik karaya seni yang eksis di berbagai tpat dan zaman.
2) Seorang kritikus memerlukan studi formal di lembaga tinggi kesenian, khususnya tentang sejarah kesenian dan sejarah kebudayaan.
3) Seorang kritikus harus berpengalaman mengamati dan menghayati seni secara orisinal, baik di studio, gedung pertunjukan, sanggar, maupun di museum. Pengalaman otentik ini diperlukan, sebab sukar dan mustahil mendapat pengalaman otentik dari slide, buku atau reproduksi karya seni belaka.
4) Seorang kritikus harus mampu secara imajinatif merekapitulasi faktor teknik karya seni, sehingga mengetahui bagaimana proses pembuatan karya yang menjadi objek kritiknya.
5) Seorang kritikus perlu mengetahui benar peristilahan seni, style seni, fungsi seni, opini penting para seniman dan pakar estetika secara periodic, disamping memahami konteks sosial dan kebudayaan yang melatar belakangi kreasi seorang seniman.
6) Seorang kritikus harus paham betul pebedaan antara niat artistic dengan hasil atau penyampaian artistic, sehingga dia mampu meluhat senjangan antar keduanya. Niat, amanat, pernyataan, atau nilai yang ingin dekspresikan seniman tidak selalu persis terungkap dalam hasil kreasi seninya.
7) Seorang kritikus harus mampu melawan bias atau simpati terhadap karya seniman tersebut yang dikenalnya secara pribadi. Sebaliknya, mampu pula secara ojektif dan penuh kearifan mengakuo keunggulan seorang seniman, meskipun seniman tersebut berbeda pendapat. Dengan kata lain perbedaan pendapat tidak mempengaruhi penilaian objektif seorang kritikus.
8) Seorang kritikus harus harus memiliki kesadaran kritis. Hal ini berkaitan dengan karya seni yang berbeda itu. Sikap netral dan demokratis adalah basis kearifan penilaina seni.
9) Seorang kritikus seni profesional harus memiliki temperamen judisial, dalam praktiknya ini berarti kemampuan menilai seni dengan cara yang tidak tergesa-gesa. Aktivitas menilai seni memerlukan bukti dan kesaksian akurat. Diperlukan waktu untuk mencerap berbagai kesan, asosiasi, sensasi, yang diberikan karya seni. Hal ini diperlukan agar kritikus dapat secara hati-hati dan cermat menganalisis dan manafsirkan nilai kerya seni dengan bujaksana dan cerdas.
- 2. Tipe Kritik Seni
(Hosper, 1992: 44) Berdasarkan penggolongan tersebut dikenal istilah isolasionisme dan kontekstualisme.
(Herarti, 1984: 105-106) Breadsley dan Kemp memperkenalkan tipe kritik intensionalis. Golman membagi tipe kritik menjadi formalis dan kontekstual.
(Sudarmaji, 1979: 33-34) Gastel membagi tipe kritik menjadi tiga, yakni kritik klasik, kritik romantic, dan kritik impresionisme.
(Pepper, 1970) Membagi tipe kritik menjadi empat, yakni kritik mekanistik, kritik kontekstualis, kritik organic, dan kritik formisme.
(Feldman, 1967: 451-452) Memperkenalkan kritik jurnalistik, kritik pedagogic, kritik scholary, dan kritik popular.
(Stonizt, 1986: 7-10) Tipe kritik normative (by rules) kritik kontekstual, kritik impresionis, kritik intensionalis, dan kritik intrinsic.
(Wellek, 1964: 345-346) Membagi kecenderungan kritik seni abad ke-20 menjadi enam, yaitu kritik Marxis, kritik Psikoanalitik, kritik linguistic-stilistik, kritik neo organistik, kritik formalis, dan kritik formalis eksistensialis.
(Wilson, 1971:33-42) Menurut Weitz, struktur kriteria atau standarkritik seni mengacu pada teori seni yang terpenting dan berpengaruh dalam dunia seni, yakni konsep imitasionalisme, eksprtesionisme, emosionalisme, formalism, dan organisisme.
(Barret, 1994: 102-105) Pakar lain membedakan kriteria penilaian seni menjadi enam, yaitu realisme, ekspresionisme, formalism, instrumentalisme, originalitu dan craftsmanship.
Pada dasarnya kritik seni memiliki banyak persamaan antara satu dengan yang lainnya. Misalnya, tipe kritik formalism, intrinsic, dan isolasionisme sebenarnya mempunyai maksud dan tujuan yang sama, meski istilahnyaberbeda. Demikian pula dengan kritik impresinistik dan mekanistik. Akan tetapi, bisa dipahami betapa besar usaha yang telah dilakukan untuk menemukan metode penilaian yang lebih tepat, lebih rasional, dan lebih bisa dipertanggungjawabkan.
Pada kesempatan ini, tidak semua tipe kritik tersebut dibahas, tetapi akan dikemukakan tipe kritik versi Feldman yang meliputi:
- a. Kritik Jurnalistik
Kewajiban seorang kritikus jurnalistik adalah memuaskan rasa ingin tahu para pembaca yang beragam, di samping untuk menyampaikan fenomena keindahanyang menggugah rasa keindahan. Pada umumnya kritikus menghindari penulisan yang panjang, agar tidak menyita kolom pemberitaan secaraberlebihan. Majalah Time dan Tempo di Indonesia merupakan contoh media yang menerapkan tipe kritik jurnalistik dalam rubric kesenian mereka.
Berbeda dengan Jurnal Bulanan Seni (Eropa, Amerika, Australia) yang menyajikan kritik jurnalistik dengan konsep lain. Jurnal ini berisi kritik tajam kepada museum dan lembaga sosial yang gagal memberik dukungan kepada seniman favorit mereka. Pada umumnya kritik tersebut menyulut timbulnya persaingan dalam kehidupan seni kontemporer. Kritikus seni, seperti Hilton Kramer dan Frank Getlein, dengan mewawancarai pendukung Action Painting seperti Harols Rosenberg dan Thomas Hess menciptakan forum bebas pendapat tahun 1950-an. Pada saat perdebatan kritik nyaris tidak ada.
Karena seringnya kritik tipe ini ditulis dan waktu penulisan yang terbatas, maka informasi yang disampaikan memiliki resiko tidak akurat. Penarikan kesimpulan yang cepat dan analisis yang dangkal menyebabkan kritikus cenderung menyimpulkan interpretasi seninya, tanpa analisis dan pembuktian yang valid. Bagi seseorang yang cermat mengamati tipe kritik jurnalistik, akan menyadari pengetahuan atau pemahaman kritikus hanya berisi sekumpulan opini tentang reputasi seni kontemporer yang sedang berkembang.
- b. Kritik Pedagogik
Para pendidik seharusnya memahami standar nilai dunia seni professional dan mampu berperan sebagai seorang kritikus, meskipun standar dunia seni profesional tersebut tidak digunakan sebagai kriteria untuk menilai karya peserta didiknya. Satu hal yang sulit bagi seorang pendidik seni ialah keterlibatan kapasitas kritisnya dalam proses pengajaran. Dia harus sadar bahwa kegiatan menganalisis dan menafsirkan karya mahasiswa-siswi adalah untuk kemajuan dan kepentingan peserta didik itu sendiri. Kritikus pedagogik membimbing bagaimana proses menganalisis dan menafsirkan nilai seni dan memahami karakter seni yang dibuatnya.
Sejak karya seni memiliki implikasi sosial (seni dibuat untuk orang lain, untuk dimiliki, dipakai, atau dikagumi, maupun untuk dinikmati sendiri) maka para pendidik seni wajib merespon secara kritis peserta didiknya, mulai dari proses pembuatan karya seni sampai menyelesaikannya. Pada system pendidikan tradisional, penentuan selesainya sebuah karya ditentukan oleh dosen atau guru seni. Namun dalam system pendidikan modern penentuan selesainya sebuah karya seni merupakan hasil kerja sama antara dosen dengan mahasiswanya atau persetujuan antara guru seni dan muridnya.
- c. Kritik Ilmiah
Penilaian kritik ilmiah sesungguhnya tidak bersifat mutlak, sama seperti pengetahuan lmiah lainnya, jenis kritik ini bersifat terbuka dan siap dikoreksi oleh siapa saja, demi penyempurnaan dan mencari nilai karya seni yang sebenarnya. Kritik seni ilmiah sama sekali tidak bermaksud mengilmiahkan seni, jenis kritik ini hanya meminjam sarana ilmiah untuk melakukan penilaian seni yang lebih akurat. Misalnya, menggunakan prosedur penelitian untuk mengumpulkan data yang lengkap, sebagai bukti konkret untuk melakukan penilaian yang logis, sehingga kesimpulan kritik yang dihasilkan dapat mengungkap makna seni berdasarkan bukti-bukti yang dikemukakan.
- d. Kritik Popular
Dari hasil penelitian diketahui bahwa seorang kritikus yang tidak mengenal metodologi penulisan kritik dengan sendirinya menjadi penganut teori mimetik. Mereka memandang objek seni dari objek rupanya. Hal ini berarti kritikus membentuk penilaiannya dengan mempertautkan pengalaman sendiri dengan karya seni yang diamatinya. Jadi criteria penilaian bergantung pada apa yang pernah dilihat, dialami, didengar atau dibaca, lalu dikaitkan dengan berbagai cara pada objek seni yang dikritiknya. Kelemahan cara seperti ini adalah berbaurnya persepsi masa lampau dengan persepsi masa kini. Proses kerja demikian menunjukkan bahwa kritikus tidak meneliti pengalamannya secara sistematis, artinya kritikus tidak sungguh-sungguh mengamati karya seni yang menjadi objek kritiknya.
Jenis kritik ini berkembang diseluruh dunia, termasuk Indonesia. Tipe kritik popular adalah suatu gejala umum dan kebanyakan dihasilkan oleh para kritikus yang tidak ahli, terutama dilihat dari aspek profesionalisme kritisme seni.
3. Penyajian Kritik Seni
Penyajian kritik seni memiliki bentuk dan cara yang sistematis. Kritikus yang baik secara sadar memahami bentuk, proses, bahkan sistem yang digunakannya untuk mencapai kesimpulan kritiknya. Menurut Feldman (1967:469) dalam teori kritik seni dikenal empat tahap meliputi; deskripsi, analisis, interpretasi, dan evaluasi.
- a. Deskripsi
Dalam karya seni rupa, kritikus akan mengarahkan perhatiannya pada prinsip konfirmasi seperti warna, arah, bentuk, penggunaan baris, tekstur, volume, dan ruang. Dalam seni musik, kritikus mendata bagaimana penyajian sebuah konser, baik aransemen, vokal, dan instrumen musik yang dipakai untuk menyajikan sebuah pagelaran. Dalam seni tari, kritikus akan menguraikan bagaimana aspek penari, gerak, ekspresi, dan ilustrasi musik yang mengiringinya. Demikian pula seorang kritikus teater dan film yang akan menguraikan sinopsis, termasuk aspek tokoh, akting, dialog, dan penampilan aktor/aktris utama dan pemeran pembantu dalam sebuah pementasan teater atau pertunjukan film yang menjadi objek kritik.
Data ini diperlukan karena sifatnya bisa mempengaruhi persepsi kritikus dalam hal pemahaman dan penilaian kritisnya nanti. Dalam pembuatan deskripsi perlu dihindari interpretasi terhadap karya seni, kesan pribadi kritikus ketika mengamati karya seni bukan termasuk bagian dari deskripsi, jadi deskripsi berarti menguraikan fakta seni sesuai dengan kenyataan yang sebenarnya, tanpa tafsiran yang sifatnya ilusif dan imajinatif.
Disamping mendeskripsikan adegan, suasana, kritikus juga menerangkan pentas, tata cahaya, dan dekorasinya, sekaligus mengutip puisi yang dibacakan. Dengan teknik mendeskripsi seperti ini, tentu saja pembaca kritik mendapatkan informasi yang lengkap.
- b. Analisis
Ide seorang kritikus sangat penting dalam menganalisis karya seni. Hasil karya seni, selanjutnya akan menjadi fakta objektif bagi kritikus untuk menafsirkan makna seni. Hal ini penting dalam upaya menilai seni secara kritis. Pada dasarnya tahap analisis adalah mengkaji kualitas unsur pendukung subject matter yang telah dihimpun dalam data deskripsi.
- c. Interpretasi
Aktifitas interpretasi merupakan sebuah tantangan dan tentu saja merupakan bagian penting. Namun, dalam kegiatan ini kritikus tidak berada dalam posisi menilai, tetapi memutuskan apa makna seni, tema karya, masalah artistik, masalah intelektual karya seni, dan akhirnya menyimpulkan karya seni sebagai satu kesatuan yang utuh.
Dalam menafsirkan karya seni, kritikus bertolak dari data deskripsi dan analisis (yang telah dilakukan sebelumnya) untuk menghasilkan sebuah hipotesis tentang karya seni yang bersangkutan. Perlu asumsi yang melandasi dalam menginterpretasikan karya seni. Diasumsikan bahwa seni mempunyai kejelasan atau implikasi isi ideologis (bukan dalam arti politis). Diasumsikan pula bahwa objek seni adalah hasil karya manusia yang tidak bisa lepas dari aspek sistem nilai penciptanya. Karya seni tidak dapat dipisahkan dari wahana ide senimannya.
Seorang kritikus tidak tertarik secara khusus pada persoalan apakah ide dalam karya seni sesuai dengan pandangan senimannya (tidak ingin menerobos privacy seorang seniman) karena pandangan seorang seniman belum pasti terjelma dalam produk seninya. Dengan kata lain, kritikus tidak menggunakan seni untuk mendapatkan apa yang dipikirkan seniman, yang diperlukan adalah bagaimana mengamati objek seni dengan seksama, sehingga ditemukan ide yang sangat signifikan. Jadi, itulah fungsi seorang kritikus, menemukan gagasan apa yang terdapat pada sebuah karya seni, dan selanjutnya mengungkapkan apa maknanya.
Dari keterangan di atas, yang penting untuk kritik seni, bahwa seniman bukan pemegang otoritas dalam memaknai hasil karyanya. Para kritikus pada umumnya, sangat memperhatikan apa yang dikatakan seniman, menyimak dengan baik segala ungkapan seniman, tetapi kritikus akan menguji pernyataan tersebut pada karya seni yang dihasilkannya. Pernyataan seniman ditempatkan sebagai material yang perlu dikonfirmasikan dengan metode analisis dari interpretasi kritikus.
Bagi kritikus yang terbiasa mengamati karya naturalis dengan tema yang jelas, menafsirkan seni abstrak atau seni non-objektif mengalami kesulitan. Kesulitan ini diperkirakan menjadi alasan kuat bagi kritikus untuk berlindung pada pernyataan seniman, biografi dan pendapat rekan-rekannya untuk mengungkapkan misteri karyanya. Kemudian juga pengaruh teori kreatifitas artistik yang menganggap seniman mengetahui apa yang akan diekspresikan atau masalah apa yang akan dipecahkan.
Namun demikian, kritikus seharusnya tidak mencampuradukkan antara niat atau tujuan artistik dengan pencapaian artistik. Dengan kata lain, kebenaran sebuah pernyataan harus dapat diamati pada karya seni, jika tidak, maka kritikus dapat melihat terjadinya kesenjangan antara aspek konseptual dengan prestasi atau pencapaian artistik. Dalam mengamati seni kontemporer, kritikus mudah terpengaruh oleh reputasi seniman dan tulisan tentang karyanya. Namun dalam praktik penilaian kritis, hal tersebut hanya digunakan sebagai pedoman dalam hal khusus jika diperlukan, akan tetapi makna seni dalam arti sesungguhnya kritikus yang menyimpulkannya.
Sesungguhnya kritik seni tidak berfungsi sebagai pengganti pengalaman estetis, mengungkap makna seni bukanlah berarti menemukan verbalisasi objek seni.
Dalam menafsirkan secara kritis karya seni kontemporer, kritikus berurusan dengan kualitas formal dan sensual objek seni. Kritikus menafsirkan dengan cermat dampak kualitas penghayatannya. Selama proses pembuatan deskripsi dan analisi, kritikus membicarakan elemen seni dan teknik pengorganisasiannya untuk mengarahkan perhatiannya langsung pada keaktualan objek seni.
Salah satu masalah sentral dalam estetika dan kritik seni adalah tidak ada jalan menghindari persepsi seni organisisme manusia. Variasi persepsi itu sendiri adalah sumber kegembiraan dan bagian dari kesenangan hidup. Kritikus dengan sadar dan penuh pertimbangan berusaha memformulasikan suatu penjelasan spesifik dari data tersebut. Isi deskripsi dan analisis dijadikan sebagai bukti dan kesaksian yang sangat berguna. Keterangan tersebut dengan sendirinya mensugestikan diri mewakili seni, meskipun tidak lengkap sebagai suatu karya seni yang utuh. Namun, dapat dipilih satu atau lebih data deskripsi dan analisis sebagai landasan pembentukan hipotesis, jika memang ada keterangan yang mengesankan.
Dalam kritik seni, tidak terlalu mementingkan apa penyebab kreasi sebuah objek seni. Namun lebih mengutamakan ide atau prinsip pengorganisasian yang memberikan efek tertentu pada kritikus. Sebagai penyebab timbulnya praduga, bahwa objek seni yang sama akan mempengaruhi individu secara berbeda.
Oleh karena itu, efek seni dan pengalaman estetik berada inside the skin of an observer, maka kritik seni mengembangkan suatu metode yang dapat memperkecil subjektifitas yang inherent dalam kritik seni. Dengan kata lain, karena kita tidak berhasil menelaah efek yang diberikan seni in side kita, tampaknya cara terbaik ialah menelaah pernyataan, observasi, dan persepsi yang telah dibuat seputar objek seni, yang ada diluar pribadi kita. Meskipun efek tersebut timbul pada diri kita, tetapi hal itu dapat diselidiki dengan teliti oleh tiap orang.
Untuk tujuan penafsiran dalam kritik seni, hipotesis adalah suatu ide atau prinsip organisasi yang berhubungan erat dengan materi deskripsi dan analisis.
- d. Evaluasi
Pada bagian ini kritikus perlu mengenali dengan seksama sebanyak mungkin gaya artistik, aliran seni, pengaruh komunikasi dalam pertukaran artistik modern, perluasan lahan kreatifitas, serta keunikan karya seni (orisinilitas) dalam sejarah kesenian. Sehingga ia mampu melakukan kaji banding kesejahteraan dengan tepat, untuk mencari serangkaian makna dan kekuatan ekspresi karya seni yang menjadi objek kritik.
Penilaian orisinilitas adalah instrumen penilaian kritis yang menjelaskan ide karya, yakni dengan mengidentifikasikan masalah artistik yang akan dipecahkan, apa fungsi seni, ada tidaknya inovasi ekspresi artistik, dan akseleransi teknik artistiknya.
Penilaian teknik seni adalah mengukur kelogisan penggunaan materi dan instrumen seni dengan korelasinya dengan bentuk dan fungsi seni. Dalam konteks karya yang anti teknik, anti estetis, anti seni, dan karya-karya vulgar lainnya penilaian ditekankan pada aspek intelektualnya, yakni bobot ide yang menyertai karya seni tersebut. Sebab tanpa isi pikiran, sebuah karya tergolong tidak bermanfaat, karena tidak relevan dengan kehidupan dan kemanusiaan kita.
4. Jenis Penilaian Kritik Sastra
a. Pendekatan Formalistik
Kritik seni formalis mengasumsikan bahwa kehidupan seni memiliki dunianya sendiri. Artinya terlepas sama sekali dari realitas kehidupan keseharian yang kita alami. Clive Bell, tokoh kritikus formalis mempertentangkan metode kritisme formalis dengan teori seni imitasi yang menekankan pentingnya hubungan seni dengan pengalaman manusia di luar seni. Menurut pendapatnya art is to be art, must be independent and self suficient.
Kriteria kritik formalis untuk menentukan ekselensi karya seni adalah significant form, yakni kapasitas bentuk seni yang melahirkan emosi estetik bagi pengamat seni.
b. Pendekatan Ekspresivisme
Kritik seni ekpresivisme menentukan kadar keberhasilan seni atas kemampuannya membangkitkan emosi secara efektif, intensif, dan penuh gairah. Intensitas pengalaman mengandung makna, bahwa karya seni yang baik dapat menggetarkan perasaan yang lebih kuat daripada perasaan keseharian pada saat kita melihat relitas yang sama. Konsep ini berusaha sekuat tenaga untuk menghidupkan kembali vitalitas dan spontanitas dalam karya seni.
Penganut kritik ekspresivisme dalam melakukan analisis seni, apresiasi dan penilaiannya memakai kriteria yang sama, yakni pengalaman induvidual seniman, seperti ekspresi diri, komunikasi emosi, dan pembahasan pengalaman estetik. Kehadiran ekspresivisme dalam dunia kesenian lebih dipertegas pada abad ke-19, antara lain dipelopori oleh Wosdsorth dan Shelly dalam puisi, Victor Hugo dalam seni teater, dan Gericault dan Delacroix dalam seni lukis.
Teori seni ekpresif memang menganggap karya seni sebagai ekpresi perasaan manusia, yang didefinisikan oleh Benedetto Croce sebagai seni adalah ekpresi dari impresi. Cita dan citra ekpresivisme bertolak belakang dengan cita dan citra kritisme formalistik. Cita-cita formalistik memang lebih mengutamakan keindahan bentuk seni, sehingga aspek emosi manusia kutang diperhatikan. Sebaliknya ekpresivisme lebih meletakkan tekanan pada ekpresi pribadi.
c. Pendekatan Instrumentalistik
Para kritikus instrumentalis berpendapat bahwa kreasi artistik tidak terletak pada kemampuan seniman untuk mengelolah material seni ataupun pada masalah internal karya seni.
Dapat dikatakan bahwa teori seni instrumentalistik menganggap seni sebagai sarana untuk memajukan dan mengembangkan tujuan moral, agama, politik, dan berbagai tujuan psikologis dalam kesenian. Seni dipandang sebagai instrumen untuk mencapai tujuan tertentu, nilai seni terletak pada manfaat dan kegunaannya bagi masyarakat.
Salah satu hal yang menyulitkan penafsiran seni instrumentalis dalam sejarah kesenian adalah kenyataan bahwa seni dapat dikagumi dengan alasan yang berbeda. Motivasi lain seni instrumentalis adalah adanya dukungan terus-menerus dari donatur, baik dari lembaga, yayasan, maupun donatur perorangan. Tidak ada bukti bahwa para sponsor dan donatur ikut mempengaruhi kualitas seni yang diciptakan seniman. Pada dasarnya teori instrumentalis mendapatkan motivasi dengan jalan melayani kebutuhan sponsornya.