Powered By Blogger

Senin, 24 September 2012

Hedonisme dan Pembelokan Makna





Seseorang dinyatakan mencapai kebahagiaan apabila dia dapat menggunakan akal budi dan rasionya dengan baik. Orang yang berakal budi tidak akan mau ‘makan sendiri’ kebahagiaannya.

Ada lagi berita hangat dari para petinggi negeri ini. Busyro Muqoddas, Ketua Komisi  Pemberantasan Korupsi (KPK), yang selama ini dikenal hemat bicara, tiba-tiba saja berbicara dan mengritik dengan lantang. Kritikannya pun pedas. Tak tanggung-tanggung, kali ini yang menjadi sasaran kritikannya adalah DPR, yang selama ini sering berbeda pendapat dengan KPK.

Busyro Muqoddas menuding sebagian anggota DPR menonjolkan gaya hidup mewah. Lebih lanjut, Muqoddas menyatakan bahwa gaya hidup mewah itulah salah satu sumber perilaku korupsi.

Tudingan itu sontak menjadi berita hangat di media, baik televisi maupun koran. Media televisi, misalnya memperlihatkan lapangan parkir gedung DPR tak ubahnya seperti pameran mobil mewah. Tampaknya, hedonisme sudah merasuki sebagian anggota DPR.

Sebenarnya, gaya hidup mewah di kalangan anggota DPR ini bukanlah cerita baru. Lihat saja gaji dan fasilitas yang mereka dapatkan. Penghasilan yang melebihi Rp50 juta per bulan masih dirasa kurang. Konon, DPR masih mendapat bantuan untuk membeli mobil. Barangkali, para pembaca masih mengingat usulan dana 15 miliar per tahun untuk setiap anggota DPR dengan kedok dana aspirasi itu. Untung saja itu tidak jadi diberikan.

Anggota DPR pun langsung bereaksi bagaikan kebakaran jenggot. Ada yang menuding hal itu adalah reaksi atas kegundahan Busyro menjelang pemilihan Ketua KPK. Tanggapan ini tidaklah mengherankan. Sudah amat terbiasa para pejabat negeri ini berargumen sesat begitu. Tanggapan ditujukan untuk menyerang orangnya, bukan menanggapi argumen yang diajukan.

Terlepas dari apakah tuduhan Busyro Muqoddas benar, fakta menunjukkan bahwa perilaku hedonistis, egois, dan materialisitis sudah merasuki orang dari berbagai lapisan di negeri ini, termasuk para pejabat. Praktek menghalalkan segala cara untuk mendapat uang atau jabatan, yang dianggap sebagai sumber kenikmatan dan kebahagiaan, merupakan indikasinya. Lihat saja, orang tidak lagi malu masuk penjara karena korupsi. Ada juga kelompok orang yang menyambut dan mengelu-elukan orang (tokoh) yang baru keluar dari penjara. Memalukan!

Hedonisme

Kata hedonisme berasal dari kata hedonismos (Yunani). Akar katanya adalah hedone, yang berarti kesenangan. Hedonisme adalah paham yang menyatakan bahwa yang baik adalah yang dapat memuaskan keinginan manusia dan yang meningkatkan kuantitas kesenangan itu. Hedonisme juga beranggapan bahwa orang akan menjadi bahagia dengan mencari kebahagiaan sebanyak mungkin dan bahwa kesenangan atau kenikmatan merupakan tujuan hidup dan tindakan manusia.

Hedonisme lahir untuk menjawab pertanyaan filsafat “Hal apa yang terbaik bagi manusia? Atau, apa tujuan akhir hidup manusia?” Salah seorang tokoh hedonisme adalah Arstippos (433-355 SM), seorang filsuf Yunani. Aristippos mengatakan bahwa hal terbaik bagi manusia adalah kesenangan. Selanjutnya, Epikuros (341-270 SM) menyatakan bahwa keinginan manusia untuk mencari kesenangan adalah hal yang wajar.

Akan tetapi, walaupun Aristippos menjunjung tinggi kesenangan, dia sendiri membatasi kesenangan itu dengan pengendalian diri. Demikian juga halanya dengan Epikuros. Epikuros menganjurkan untuk mendapatkan kesenangan itu dengan kesederhanaan, kebijaksanaan, dan ketenteraman jiwa.

Pembelokan makna
Hedonsime sekarang mengidentikkan kesenangan dengan kemewahan. Itu adalah  pembelokan makna dari kebahagiaan. Aristoteles, salah seorang tokoh etika, mengemukakan bahwa tujuan akhir dari hidup manusia adalah kebahagiaan (eudaimonia). Inilah yang melahirkan paham eudaimonisme. Eudaimonisme ingin meluruskan makna kesenangan dengan kebahagiaan. Menurut paham ini kebahagiaan tidak dapat dicapai dengan uang atau kemewahan.

Seseorang dinyatakan mencapai kebahagiaan jika dia dapat menjalankan perannya dengan baik, lebih tepatnya apabila dia dapat menggunakan akal budi dan rasionya dengan baik. Orang yang berakal budi tidak akan mau ‘makan sendiri’ kebahagiaannya. Dia akan membaginya dengan orang lain. Artinya, kebahagiaan yang diperolehnya tidaklah beralaskan penderitaan orang lain. Orang yang bahagia dalam arti yang sebenarnya adalah orang yang tidak egoistis. Inilah yang menjadi landasan bagi etika eudaiominstis.

Boleh jadi, para anggota DPR berdalih bahwa mereka sudah kaya dan sudah terbiasa hidup mewah sebelum menjadi anggota DPR. Tidak ada yang salah dengan gaya hidup mereka.  Memang, persoalannya bukan benar-salah, tetapi etis-tidak etis, atau patut-tidak patut.

Gaya hidup hedonistis yang dipertontonkan sebagian anggota DPR hanya akan menambah sedih hati rakyat di tengah penderitaan yang mereka hadapi. Dengan cara itu, DPR sedang membangun tembok pemisah dengan rakyat. Seyogianyalah DPR membanguan jembatan penghubung antara mereka dengan rakyat dan membagi sedikit kebahagiaan itu dengan rakyat. Memertontonkan mobil mewah di saat rakyat sedah berjuang menahan rasa laparnya bukanlah perbuatan yang etis.

Dalam berbagai kesempatan, DPR mengaku bahwa mereka adalah wakil rakyat. Akan tetapi, pada kenyataannya itu lebih dimaknai sebagai perwakilan tubuh (jumlah suara) semata. Padahal, Anda semua tidak hanya mewakili tubuhnya, Anda juga mewakili perasaan dan suasana hatinya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar