Powered By Blogger

Selasa, 25 September 2012


KAUM HEDONIS

(ditulis oleh: Al-Ustadz Abulfaruq Ayip Syafruddin)
Islam adalah ajaran yang sempurna, sebuah sistem dan cara pandang hidup yang lengkap, praktis, dan mudah. Islam memberikan tuntunan terkait hal yang bersifat individu dan yang menyangkut masalah kemasyarakatan. Semua itu telah diatur oleh Islam. Allah l berfirman,
“Pada hari ini telah Ku-sempurnakan untukmu agamamu, telah Ku-cukupkan untukmu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu.” (al-Maidah: 3)
Islam mengajak manusia ke alam nan bercahaya, terang benderang. Islam menarik manusia dari kegelapan dan mengarahkannya menuju kehidupan yang penuh makna. Islam membebaskan manusia dari kehampaan hidup, kekeringan jiwa, dan kehilangan arah kendali hidup. Melalui Islam, manusia menjadi tercerahkan. Kebodohan yang tergumpal di dada manusia terbuncah, memberai lalu sirna. Islam dengan sinarnya yang kemilau memupus kebodohan yang meliputi umat. Karena itu, berbahagialah manusia yang telah diliputi oleh petunjuk, berpegang teguh dengan Islam dan menepis setiap nilai jahiliah.
Adapun orang-orang yang berpaling dan tidak mau peduli terhadap kebenaran Islam, sungguh mereka adalah orang-orang yang merugi. Hawa nafsu menjadi landasan pacu amalnya. Perilakunya senantiasa diwarnai oleh noda hitam pekat, tidak merujuk kepada Islam, dan lebih menyukai bersandar kepada sistem nilai kekufuran.
“Barang siapa yang mencari tuntunan selain Islam, maka tidak akan diterima (amal perbuatannya) darinya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang merugi.” (Ali Imran: 85)
Lantaran keadaan mereka yang gersang dari ajaran Islam, tanpa pemahaman dan amal yang lurus dan benar, mereka lebih condong bergelut dengan beragam maksiat. Kehidupan dunia telah banyak memerdayakannya. Mereka berlomba mereguk materi sebanyak-banyaknya tanpa memerhatikan nilai kebenaran walaupun semua itu semu, tidak terkecuali dari kalangan kaum muda Islam. Dengan slogan kata ‘modern’, mereka bergumul meraup dunia. Mereka meninggalkan batas-batas dan menerobos rambu-rambu agama. Halal-haram tak lagi menjadi pertimbangan dalam bersikap. Bagai dikebiri, mereka terjerat siasat Yahudi dan Nasrani. Tidak ada lagi kecemburuan terhadap Islam. Ghirah untuk menampilkan diri sebagai sosok muslim taat pun mandul. Mata, hati, dan pendengaran sudah tidak bisa lagi membedakan mana yang benar dan mana yang salah. Mereka tidak ubahnya bagai binatang ternak, bahkan lebih sesat lagi.
Allah l menggambarkan fenomena ini dalam ayat-Nya,
“Sesungguhnya Kami jadikan untuk (isi neraka Jahannam) kebanyakan dari jin dan manusia. Mereka mempunyai hati, tetapi tidak digunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah). Mereka mempunyai mata, (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah). Mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengarkan (ayat-ayat Allah). Mereka itu seperti binatang ternak, bahkan lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai.” (al-A’raf: 179)
Karena keadaan hati yang buta dan tuli, banyak manusia menolak kebenaran. Bahkan, tidak sedikit yang melontarkan caci maki terhadap Islam dan kaum muslimin yang taat kepada ajarannya. Bagi mereka, Islam dianggap sebagai ajaran yang kolot, kuno, dan ortodoks. Islam hanya akan mengekang kebebasan manusia dalam berbuat, berekspresi, dan berperilaku. Orang-orang yang setia dan mengagungkan Islam mereka tuduh sebagai manusia picik. Singkat kata, Islam hanya akan memberangus apa yang diinginkannya dan hanya akan menyulitkan manusia. Islam hanya akan mempersempit ruang gerak kehidupannya, memasung kebebasannya, dan mengebiri pergaulannya. Padahal Allah l berfirman,
“Dia telah memilih kamu dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan.” (al-Hajj: 78)
“Thaha. Kami tidak menurunkan al-Qur’an ini kepadamu agar kamu menjadi susah, tetapi sebagai peringatan bagi orang yang takut (kepada Allah).” (Thaha: 1—3)
Celoteh mereka hakikatnya menunjukkan bahwa mereka tidak memahami Islam secara baik dan benar. Bisa jadi, hal itu karena kedengkian yang ada pada hati mereka. Kemungkinan-kemungkinan itu bisa saja terjadi. Namun, yang jelas sikap apriori mereka terhadap Islam sangat merugikan. Celah ini dimanfaatkan oleh musuh-musuh Islam dan kaum muslimin. Upaya mereka untuk memadamkan cahaya Islam seakan mendapat angin segar. Inilah gerakan yang disinyalir melalui firman-Nya,
“Mereka ingin hendak memadamkan cahaya (agama) Allah dengan mulut (ucapan-ucapan) mereka, dan Allah tetap menyempurnakan cahaya-Nya meskipun orang-orang kafir benci.” (ash-Shaf: 8)
Akibat sikap buruk terhadap Islam, mereka pun mematri aturan-aturan hidup yang bersumber dari hawa nafsu. Mereka bangga melaksanakannya meskipun kemudian menimbulkan kerusakan di semua lini kehidupan. Dalam pergaulan antarjenis manusia, kerusakan kronis telah begitu kuat mencengkeram. Kebebasan seksual, perilaku kerahiban (hidup membujang), homoseks, lesbian, dan perilaku penyimpangan seksual lainnya telah dianggap sebagai sesuatu yang biasa. Hubungan yang bercampur baur antara pria dan wanita yang bukan mahram tidak lagi dianggap sebagai dosa yang harus dijauhi.
Anehnya, tidak sedikit dari kalangan umat Islam yang meniru dan bangga dengan hal itu. Tanpa rasa takut kepada Allah l, tanpa malu, dan tanpa risih mereka tiru mentah-mentah perbuatan yang menyelisihi Allah l dan Rasul-Nya n. Nabi n berkata,
إِنَّ مِمَّا أَدْرَكَ النَّاسُ مِنْ كَلَامِ النُّبُوَّةِ الْأُولَى إِذَا لَمْ تَسْتَحْـِي فَاصْنَعْ مَا شِئْتَ
“Sesungguhnya dari apa yang telah manusia peroleh dari perkataan kenabian yang pertama, ‘Jika engkau tak memiliki rasa malu, berbuatlah sekehendakmu’.” (HR. al-Bukhari no. 6120 dari sahabat Abu Mas’ud z)
Menjelaskan hadits di atas, asy-Syaikh Shalih bin Fauzan hafizahullah berkata, “Malu adalah perangai yang agung. Sikap malu menyebabkan seseorang tercegah dari sesuatu yang akan mengantarkan kepada hal yang tak patut, seperti perbuatan-perbuatan yang rendah dan hina, serta akhlak buruk. Oleh karena itu, sikap malu ini termasuk dari cabang keimanan.” (al-Minhatu ar-Rabbaniyyah fi Syarhi al-Arba’in an-Nawawiyah, hlm. 181)
Jika malu sudah tidak lagi ada di dada, sikap tidak nyaman lantaran melanggar ketentuan Allah l dan Rasul-Nya n menjadi sesuatu yang biasa. Tidak ada lagi kata risih. Jangankan malu, risih saja tidak.
Dengan berbuat seperti itu, seakan-akan mereka menganggap diri mereka sebagai orang yang menerapkan sistem modern. Kalau tidak berbuat dan menerapkan hal demikian, bakal merugikan kehidupannya, masa depannya, dan segenap usahanya. Apa yang dilakukannya seakan-akan merupakan langkah yang baik, selaras dengan prinsip hidup modern, dan sesuai dengan kondisi masyarakat. Fenomena ini digambarkan oleh Allah l dalam firman-Nya,
Katakanlah, “Apakah akan Kami beri tahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya? Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya.” (al-Kahfi: 103—104)
“Apakah hukum jahiliah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?” (al-Maidah: 50)
Padahal, apa yang dibanggakannya bisa menjadi sumber bencana. Prinsip-prinsip yang menggayut dalam benaknya adalah pemantik petaka dan perantara turunnya azab Allah l. Firman-Nya,
“Hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah Rasul takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih.” (an-Nur: 63)
Maka dari itu, yang sekiranya hal itu merupakan perbuatan yang dilarang, hendaknya dijauhi. Sekiranya itu merupakan perintah untuk dipraktikkan, maka tunaikanlah. Sesungguhnya Rasulullah n bersabda,
مَا نَهَيْتُكُمْ عَنْهُ فَاجْتَنِبُوهُ وَمَا أَمَرْتُكُمْ بِهِ فَأْتُوا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ
“Apa yang telah kularang padamu darinya, tinggalkanlah (jauhilah). Apa yang telah kuperintahkan dengannya, tunaikanlah semampumu.” (HR. al-Bukhari no. 7288 dan Muslim no. 1337 dari sahabat Abu Hurairah z)
Meskipun demikian, masih ada sekelompok manusia yang menyandarkan falsafah hidupnya hanya untuk meraup kesenangan. Ia tidak peduli kesenangan yang didapat dia tempuh dengan cara apa. Baginya, kesenangan adalah satu-satunya kebaikan. Prinsip hidup “asal senang” ini adalah prinsip hidup kaum hedonis. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, hedonisme diartikan sebagai pandangan hidup yang menganggap bahwa kesenangan dan kenikmatan adalah tujuan utama dalam hidup. Doktrin hedonisme (asal katanya adalah hedone, bahasa Yunani yang berarti kesenangan) digulirkan oleh salah seorang murid Socrates yang bernama Aristippus.
Filsafat hedonisme mengajarkan prinsip “Apa yang dilakukan dalam rangka meraup kesenangan atau menghindari penderitaan. Kesenangan adalah satu-satunya kebaikan, dan mencapai puncak kesenangan adalah satu-satunya kebajikan.” (Sejarah Pemahaman Psikologi dari Masa Kelahiran sampai Masa Modern, Dr. C. George Boeree, hlm. 55)
Pemahaman ini diusung pula oleh Sigmund Freud, seorang keturunan Yahudi yang melontarkan ide Principle of Pleasure (Prinsip-Prinsip Kenikmatan). Freud melemparkan ide bahwa segala sesuatu yang dilakukan oleh manusia akan bermuara pada soal ekspresi dan nafsu seks. Dengan demikian, atas dasar kenikmatan dan kesenangan ini, tanpa memerhatikan norma yang ada, serbuan pemahaman yang bertitik tekan pada kesenangan dan kenikmatan hidup semata menyeruak masuk ke benak sebagian manusia. Tidak mengherankan apabila kemudian di tengah masyarakat muncul iklan-iklan yang diwarnai oleh citra seksual. Begitu pula di sisi kehidupan media massa lainnya. Berita dan cerita yang beraroma nafsu birahi cenderung meningkat dan digandrungi. Sadar atau tidak, gaya hidup hedonis telah merembes dan menjadi bagian hidup sebagian masyarakat.
Gaya hidup hedonis membentuk sikap mental manusia yang rapuh, mudah putus asa, cenderung tidak mau bersusah payah, selalu ingin mengambil jalan pintas, tidak hidup prihatin, dan bekerja keras. Seseorang yang terjebak gaya hidup hedonis akan mengambil bagian yang menyenangkan saja. Adapun hal yang bakal memayahkannya, dia hindari. Dia tidak mau peduli bagaimana orang tuanya bekerja keras siang dan malam, sementara itu dirinya hanya bisa nongkrong di mal, berkumpul dengan kalangan berduit, selalu memilih barang berharga mahal meskipun menggunakan barang yang relatif murah sebenarnya bisa. Apa yang melekat pada dirinya harus selalu terkesan mewah dan elegan.
Gaya hidup hedonis identik dengan gaya hidup glamor, hura-hura, foya-foya, dan bersenang-senang. Gaya hidup hedonis akan mengantarkan seseorang pada sikap mental yang tidak mau peduli dan peka melihat keberagaman hidup, tidak memiliki sensitivitas terhadap kesulitan hidup orang lain. Singkat kata, gaya hidup hedonis melahirkan manusia-manusia yang tumpul sikap sosialnya, melahirkan jenis manusia asosial.
Padahal hidup di dunia ini hanyalah main-main dan sendau gurau belaka. Adapun kampung akhirat adalah hal yang lebih utama. Allah l berfirman,
“Dan tiadalah kehidupan dunia ini selain main-main dan senda gurau belaka. Dan sungguh kampung akhirat itu lebih baik bagi orang-orang yang bertakwa. Maka tidakkah kamu memahaminya?” (al-An’am: 32)
Rasulullah n mengibaratkan kehidupan dunia bagai seorang pengelana yang beristirahat di bawah pohon. Kala lelah telah sirna dari tubuhnya, pengelana itu pun melanjutkan perjalanannya. Pohon tempatnya berteduh dia tinggalkan. Itulah dunia beserta kehidupan di dalamnya, sekadar tempat rehat sesaat. Nabi n bersabda,
مَا لِي وَلِلدُّنْيَا، مَا أَنَا فِي الدُّنْيَا إِلاَّ كَرَاكِبٍ اسْتَظَلَّ تَحْتَ شَجَرَةٍ ثُمَّ رَاحَ وَتَرَكَهَا
“Apalah arti dunia bagiku. Tiadalah (bagi) aku dalam perkara dunia melainkan seperti seorang pengelana yang beristirahat di bawah pohon, lalu setelah itu meninggalkan (pohon) tersebut.” (HR. at-Tirmidzi, Ahmad, Ibnu Majah, dan al-Hakim. Asy-Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani menyatakan hadits ini sahih dalam Shahih al-Jami’ ash-Shaghir wa Ziyadatuhu no. 5669)
Dalam sebuah hadits dari Abul Abbas Sahl bin Sa’d as-Sa’idi z disebutkan,
أَتَى النَّبِيَّ n رَجُلٌ فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللهِ، دُلَّنِي عَلَى عَمَلٍ إِذَا أَنَا عَمِلْتُهُ أَحَبَّنِي اللهُ وَأَحَبَّنِي النَّاسُ. فَقَالَ رَسُولُ اللهِ n: ازْهَدْ فِي الدُّنْيَا يُحِبَّكَ اللهُ، وَازْهَدْ فِيمَا فِي أَيْدِي النَّاسِ يُحِبُّكَ النَّاسُ
“Seorang lelaki datang kepada Nabi n. Laki-laki itu berkata kepada Nabi n, ‘Wahai Rasulullah, tunjukkanlah kepadaku satu amalan yang apabila aku mengamalkannya Allah akan mencintaiku dan manusia akan mencintaiku.’ Jawab Rasulullah n, ‘Zuhudlah dalam urusan dunia, Allah akan mencintaimu dan zuhudlah terhadap apa yang ada di tangan manusia, niscaya manusia akan mencintaimu’.” (HR. Ibnu Majah no. 4102, dinyatakan sahih oleh asy-Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani t. Lihat ash-Shahihah no. 944)
Sikap zuhud bisa dilakukan oleh seorang hamba yang fakir ataupun yang memiliki harta kekayaan yang melimpah. Bagi orang fakir, hendaknya dia berzuhud dengan tetap bersemangat mencurahkan segenap kemampuannya bagi kehidupan akhiratnya. Adapun bagi yang diberi limpahan harta kekayaan, dia berzuhud dengan segenap kemampuan dari hartanya guna kepentingan Islam dan kaum muslimin. Harta yang disalurkan untuk hal itu akan membawa kebaikan baginya dan tidak akan membinasakannya. (asy-Syaikh Muhammad al-Imam, Tahdzirul Basyar, hlm. 95)
Menyikapi kehidupan dunia dengan bimbingan syariat, niscaya akan menyelamatkan hamba dari tekanan hedonisme. Seseorang tidak akan diperbudak oleh dunia, tidak pula silau oleh kemilau dunia yang menipu. Dunia hanyalah tempat singgah sementara, sedangkan kampung akhirat adalah tempat tujuan yang hakiki, tujuan nan abadi.
“Adapun kehidupan akhirat adalah lebih baik dan lebih kekal.” (al-A’la: 17)
Saat seseorang meninggalkan dunia fana ini menuju kampung akhirat, segenap harta kekayaan yang telah dikumpulkan selama hidupnya tidak akan dibawanya, kecuali kain kafan yang menyelimutinya. Hal ini dinyatakan oleh Rasulullah n,
يَتْبَعُ الْمَيَّتَ ثَلَاثَةٌ: أَهْلُهُ وَمَالُهُ وَعَمَلُهُ، فَيَرْجِعُ اثْنَانِ وَيَبْقَى وَاحِدٌ، فَيَرْجِعُ أَهْلُهُ وَمَالُهُ وَيَبْقَى عَمَلُهُ
“Orang yang meninggal dunia itu diikuti oleh tiga hal: keluarganya, hartanya, dan amalnya. Yang dua akan kembali, adapun yang satu tetap tinggal. Yang kembali adalah keluarganya dan hartanya. Adapun yang tetap (bersamanya) adalah amalnya.” (HR. al-Bukhari no. 6514 dan Muslim no. 5)
Begitulah dunia, dia tidak akan selalu bersama pemiliknya. Dia akan terpisah, meninggalkan pemiliknya. Kaum hedonis amat sukar menerima kenyataan ini.
Wallahu a’lam.

HEDONISME DALAM PANDANGAN ISLAM

Ali Syariati, seorang ulama terkemuka timur tengah pernah berkata bahwa tantangan terbesar bagi remaja muslim saat ini adalah budaya hedonisme (kesenangan adalah hal yang paling penting dalam hidup) yang seolah sudah mengurat nadi. Budaya yang bertentangan dengan ajaran islam ini digemari dan dijadikan sebagai gaya hidup (life style) kawula muda masa kini, kaya atau miskin, ningrat atau jelata, sarjana atau kaum proletar, di desa ataupun di kota seolah sepakat menjadikan hedonisme yang sejatinya kebiasaan hidup orang barat ini sebagai “tauladan” dalam pergaulannya. Firman Allah SWT, “…dan orang-orang yang zalim hanya mementingkan kenikmatan yang mewah yang ada pada mereka, dan mereka adalah orang-orang yang berdosa.” (QS. Huud: 116). Bahkan yang lebih meresahkan lagi budaya hedonisme seolah telah menjadi ideologi bagi kaum muda yang tidak tabu lagi untuk dilakukan. (http://www.banjar-jabar.go.id/redesign/cetak.php?id=1087)
Namun, ketika ada di ranah hubungan “bisnis” antarmanusia (hablumminannas), dirinya harus pula bisa bersikap hedonis, sosok manusia yang bernafsu menyukai kepentingan dunia dan gemar memburu kesenangan biologis. Dua peran itulah yang sebenarnya mencerminkan berlakunya prinsip religius yes, hedonis yes, atau agama tetap diperankan sebagai cermin dirinya yang berasal dan dibesarkan di lingkungan beragama, sementara ketika dirinya masuk di lingkaran pergaulan dunia selebriti, agama tak lagi harus diperankan sebagai kekuatan suci yang mengawalnya. Agama saat masuk dunia hedonis ini berhak dikalahkan atau dipinggirkan dan digantikan oleh gaya hidup berbingkaikan hedonisme. Prinsip tersebut tampaknya sedang memperoleh tempat tertinggi dalam tayangan televisi dewasa ini. Kata religius yes, hedonis yes seolah sudah melekat erat dalam konstruksi manajemen pertelevisian kita.(http://fh.unisma.ac.id/index.php?option=com_content&task=view&id=85&Itemid=5)
Remaja saat ini masih banyak yang terpengaruh gaya hidup liberal dan hedonis. Ini menjauhkan dan mengeluarkan mereka dari gaya hidup yang beradab, yaitu dari hukum Allah yang menciptakan manusia.
Remaja sekarang ini tergilas arus hedonisme dan sulit keluar dari kondisi itu. Karena itu kami ingin mengajak para remaja muslimah untuk membebaskan diri mereka dengan Islam. Atas nama kebebasan, banyak remaja terjebak dalam pergaulan bebas, narkoba, aborsi, dan silau dengan gemerlapnya demokrasi liberalisme. Remaja sebagai generasi penerus bangsa harus diselamatkan, ujarnya. (http://hizbut-tahrir.or.id/2009/02/22/surabaya-kecam-hedonisme-remaja-ratusan-muslimah-hti-turun-ke-jalan/)
Sampai hari ini masih kita tememukan jejak-jejak kerajaan Demak. Wujud kebudayaan fisik yang masih dapat kita saksikan hingga hari ini adalah Masjid Agung Demak dan makam Kanjeng Sunan Kalijaga di Kadilangu. Demak sebagai salah satu pusat penyebaran agama Islam masih tampak dengan keberadaan pesantren yang tersebar di seluruh penjuru wilayah kabupaten Demak. Jama’ah-jama’ah pengajian juga hampir ada di setiap kampung. Kesenian bernuansa Islam masih sangat kental di wilayah kabupaten Demak, seperti rebana, kentrung, zipin, kaligrafi, seni baca Al-Qur’an dan lain-lain. Tapi Demak sekarang adalah Demak yang bingung memilih kebudayaannya. Antara budaya pesantren dengan budaya hedonis yang sedang mengejala. Generasinya adalah generasi yang resah antara kukuh dengan peninggalan masa lalu, berdiam diri bersedeku dalam pondok, atau ikut berjirak bersama alunan musik rock di lapangan Tembiring.Peci-peci itu telah dilepas, digantikan potongan rambut punk, baju koko dan sarung dilepas digantikan celana dan baju junkis. Jilbab pada kaum perempuannya juga mengalami nasib yang tak jauh berbeda. Generasi Demak saat ini adalah generasi yang resah dan gamang. Dulu, tempat ini menjadi salah satu pusat intelektualitas pesantren yang mengancam intelektualitas kejawen dan priyayi Majapahit. Sekarang Intelektualitas pesantren mendapat ancaman. Hedonisme, dan gaya hidup ‘gaul’ merebut sedikit demi sedikit namun pasti perhatian sebagian warga Demak. Pemindahan panitia penyelengara grebeg besar terakhir ini dari Pemkab menjadi swasta dengan tujuan pemenuhan target pendapatan agar lebih tingg membuktikan hal itui. Bintang tamu yang dihadirkan seperti dangdutan, Dara AFI, Didi Kempot tampak jelas bahwa unsur hiburan dan untung belaka yang ingin dicapai. Mengapa kesenian Demak asli, seperti kentrung, rebana, zipin, seni baca Al Qur’an, dan lomba kaligrafi tidak di munculkan? (http://citizennews.suaramerdeka.com/?option=com_content&task=view&id=597)

Pengaruh Hedonisme di Indonesia

Kesenangan yang berlebihan tanpa melihat orang-orang disekitar sepertinya sudah mulai nampak di Indonesia. Sudah banyak masyarakat di indonesia tidak lagi mempedulikan yang namanya silaturrahmi antara individu satu dengan individu lainnya, padahal budaya Indonesia sudah sangat terkenal dengan keramahannya dengan masyarakat lain. Dan salah satu penyebab dari masalah ini adalah pengaruh hedonisme. Hedonisme adalah pandangan hidup yang dimana kesenagan dan kenikmatan materi adalah tujuan utama. Jadi bisa dikatakan bahwa para penganut hedonisme ini lebih mementingkan kesenangannya, tidak lagi peduli oleh orang yang berada di sekitar mereka, karna yang terpenting buat mereka adalah kesengan. Salah contoh hedonisme seperti berfoya-foya dan hura-hura. Dalam prospektif hedonisme para penganut hedonisme kebanyakan dari kalangan menengah keatas, karna dalam melampiaskan kesengannya pasti uang yang mereka keluarkan sangat banyak, tapi mereka tidak terlalu mempedulikannya, yang terpenting bagi penganut hedonisme ini adalah kesengan. Shoping di mall dengan mengeluarkan biaya yang sangat banyak, mengadakan party di club malam, mabok-mabokan. Hal inilah dampak dari pandangan hidup dengan cara bersenang-senang atau hedonisme. Selain itu Budaya hedonisme ini lebih cenderung ke budaya barat.
Dengan ikutnya Indonesia ke era globalisasi, maka secara tidak langsung masyarakat di Indonesia juga mulai berkiblat ke budaya barat. Secara otomatis pengaruh hedonisme juga sudah muncul di Indonesia. kenyataan hal tersebut memang benar adanya, seperti : ramainya tempat hiburan malam, anak muda sudah banyak yang mabuk-mabukan yang berakibat pada keributan dan lebih parah dari itu adalah maraknya pencinta sesama jenis di Indonesia. Tidak hanya itu dampak lain yang diterima Indonesia akibat hedonisme adalah banyaknya pelajar yang malas untuk belajar atau tidak ada lagi semangat untuk belajar akibat kesenangan yang memanjakan mereka, selain itu sudah banyak pula masyarakat di Indonesia yang terlalu mengagungkan kesenangan duniawi, sehingga lupa akan tujuan hidupnya dan hubungan silaturrahmi di Indonesia sudah mulai redup, baik individu dengan individu lain, maupun dengan masyarakat karna mereka mementingkan diri sendiri tanpa melihat di sekitar.
Hali inilah yang bisa membuat budaya-budaya di Indonesian mulai di lupakan oleh pemiliknya sendiri diakibatkan ke ikut sertaanya dengan gaya hidup hedonisme.

Senin, 24 September 2012

Hedonisme dan Kerapuhan Karakter Mahasiswa

HEDONISME telah memengaruhi naluri kehidupan bangsa Indonesia. Hedonisme menjadi budaya buruk yang sangat rentan mengarahkan kaum elite melakukan korupsi. Inilah yang ditengarahi Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) M Busyro Muqoddas dalam pidato kebudayaannya pertengahan November 2011 lalu bahwa budaya hedonis merupakan salah satu sumber lahirnya korupsi.

Pejabat negara sudah bermegah-megahan, bahkan mobil yang digunakan sudah lebih bagus dari mobil perdana menteri negara tetangga. Sinyalemen Busyro ini menarik kalau ditarik dalam konteks kampus. Karena budaya pejabat negara tak bisa dilepaskan dari budaya kampus, karena pejabat negeri ini lahir di berbagai kampus di Indonesia.

Diakui atau tidak, jebakan budaya hedonis sudah merasuk dalam jiwa kampus. Lihat saja di berbagai kampus elite di Indonesia, di sana kita akan menemukan beragam jenis merek mobil. Di sekitar kampus juga disediakan beragam model gaya hidup yang dipampang secara vulgar di  berbagai jalan raya.

Hedonisme mahasiswa merupakan kabar buruk bagi dunia kampus Indonesia. Karena hedonisme membawa kesenangan terhadap hal-hal yang bersifat sementara, sehingga orang terjebak untuk tidak mampu bersikap sabar. Dewasa ini mahasiswa lebih ‘’mencintai’’ tayangan dan hal-hal yang bersifat entertainmen, gosip, jingkrak-jingkrak menyaksikan konser musik rock, dan hal-hal yang melemahkan mereka dalam membangun kepribadian mereka sendiri.

Budaya hedonis ini sangat berbahaya kalau sampai mengarah pada pandangan hidup yang menganggap bahwa kesenangan dan kenikmatan materi adalah tujuan utama hidup. Bagi para penganut paham ini, bersenang-senang, pesta-pora, dan pelesiran merupakan tujuan utama hidup, entah itu menyenangkan bagi orang lain atau tidak. Karena mereka beranggapan hidup ini hanya sekali, sehingga mereka merasa ingin menikmati hidup senikmat-nikmatnya.

Di dalam lingkungan penganut paham ini, hidup dijalani dengan sebebas-bebasnya demi memenuhi hawa nafsu yang tanpa batas. Dari golongan penganut paham inilah muncul nudisme (gaya hidup bertelanjang). Pandangan mereka terangkum dalam pandangan Epikuris yang menyatakan, ‘’bergembiralah engkau hari ini, puaskanlah nafsumu, karena besok engkau akan mati.’’

Krisis Karakter

Hedonisme menjadikan mahasiswa krisis karakter, sehingga tak mampu menjalankan prediketnya sebagai agent of social cange, agent of control. Peran mahasiswa dalam perubahan politik di Indonesia memang luar biasa, tetapi kondisi hedonis telah merusak peran tersebut  dan menjadi penyakit sosial yang merusak kebangsaan kita.

Kala Orde Baru tumbang, semua berharap mahasiswa bisa mengambil alih kepemimpinan nasional. Walaupun tidak mengambil seratus persen, tetapi tidak sedikit mahasiswa yang kemudian menjadi bagian dari negara dan pemerintahan. Ironisnya, masa transisi reformasi ternyata menjadikan Indonesia makin menjadi korup. Aktornya adalah mereka kaum kampus yang kemudian masuk dalam struktur kekuasaan.

Hedonisme juga menggiring mahasiswa ke dalam culture of banality (budaya kedangkalan), di mana segala informasi yang mereka terima langsung dicerna mentah-mentah, tanpa diproses, diverifikasi, dan didalami dengan logika kerja pikiran. Tak salah kemudian banyak mahasiswa yang mudah terjebak dalam berbagai jaringan terorisme. Mereka mentah memahami informasi terbaru, sehingga mereka mudah terseret dalam arus baru yang paradoks dengan nilai-nilai kemanusiaan.

Selain itu, mahasiswa hari ini juga semakin jauh dengan buku-buku kritis. Mahasiswa sekarang lebih menyukai musik pop dari pada musik gamelan, lebih cinta jeans daripada batik.Kerapuhan karakter mahasiswa terlihat sangat jelas dalam berbagai kasus yang mendera hari ini tanpa sentuhan kritis dari kaum mahasiswa.

Suara-suara kritis mahasiswa saat ini sudah hilang kala melihat berbagai korupsi yang makin menggurita, bahkan kalau yang terjebak itu mempunyai jaringan gerakan mahasiswa ekstra kampus, kaum aktivis justru mem-backup. Berbagai ketidakadilan tak mendapatkan sentuhan kritis mahasiswa.  Gejala hedonisme sudah ‘’melahap’’ hampir seluruh mahasiswa di perkotaan dan daerah-daerah.

Di tengah gemuruh budaya hedonis inilah, perlu kiranya menegakkan pendidikan integritas. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi 1996, ‘’integritas’’ berarti ‘’mutu, sifat, atau keadaan yang menunjukkan kesatuan yang utuh sehingga memiliki potensi dan kemampuan yang memancarkan kewibawaan’’.

Integritas adalah satu kata yang mencakup sejumlah nilai yang kita pegang teguh, dan menjadi pedoman bagi  tindakan kita. Pendidikan integritas tak selalu harus berupa mata kuliah tersendiri. Tetapi, justru nilai-nilai integritas yang merupakan good living values dapat muncul dalam berbagai mata kuliah yang diberikan di dalam perguruan tinggi. Dalam menegakkan pendidikan integritas ini, menurut

Henry Giroux dalam Social Education in The Classroom (1983), institusi pendidikan jangan hanya dalam satu perspektif atau monolitik. Pendidikan jangan hanya melayani kepentingan masyarakat dominan dan melanggengkan struktur sosial yang ada. Padahal pendidikan selalu berwajah ganda: dapat melayani kepentingan masyarakat dominan dan sekaligus dapat melayani kepentingan masyarakat subordinat.

Buku Tentang HEDONISME


Menguak Hedonisme Kota-Kota Termaksiat di Dunia
Description: http://rimanews.com/sites/default/files/imagecache/250x175/a1.jpg
Hedonisme telah mengubah semuanya, cara berpikir yang memengaruhi cara manusia hidup. Ketika era semakin modern, manusia menjunjung tinggi nilai-nilai kebebasan sebagai tameng untuk bisa lepas dari segala aturan agama, sosial, dan tradisi. Negara-negara yang dulu kental dengan tradisi keagamaan dalam menjalankan hidup sehari-hari kini berubah drastis pasca-invasi ideologi demokrasi.
Gaya hidup memang selalu menjadi bisnis menggiurkan bagi banyak kalangan dan banyak menyumbang devisa untuk negara. Ini adalah sedikit alasan kenapa bisnis gaya hidup bisa bertahan dan terus berkembang dari tahun ke tahun. Di tengah ruwetnya menjalani hidup dengan berbagai pekerjaan yang banyak memakan tenaga dan pikiran, yang namanya senang-senang untuk melepas stres selalu menjadi pilihan, ini berlaku di negara mana pun.
Senang-senang memanjakan diri atau me-refresh otak tidak cukup hanya bersantai ria, tetapi butuh sensasi baru yang tak pernah ditemuinya di tempat kerja, termasuk melampiaskan nafsu berahi. Inilah yang paling ampuh, dengan alasan itulah muncul bisnis esek-esek yang menawarkan surga dunia. Bisnis semacam ini mungkin masih tabu kalau di Indonesia sendiri, tapi tidak untuk di luar sana, bisnis prostitusi legal dan dilindungi negara.
Sekilas tampak kenyataan ini memang ironi, tapi itulah fakta dari kebebasan yang dianut manusia abad ini. Kita mungkin tidak banyak tahu hal semacam ini, apalagi jika sudah menjurus pada bisnis. Selain sistem kerjanya yang terselubung, juga dilindungi pemerintah. Seperti di Amsterdam, Belanda. Di sana berbagai bentuk bisnis haram ini semuanya dilindungi pemerintah.
Amsterdam menjadi salah satu tempat prostitusi di dunia, yang dikenal dengan sebutan Red Light District. Ini adalah sebuah tempat khusus pelampisan berahi lelaki hidung belang. Di tempat itu banyak coffee shop yang tidak hanya menjual kopi, tetapi juga ganja secara bebas. Selain itu, ada juga toko sex toys dan sex museum. Wisatawan yang berkunjung ke sana—khususnya di Taman VondelPark—tidak akan heran bila menemukan orang melakukan seks di luar ruangan, di taman tersebut, karena hal itu diperbolehkan.
Buku ini lebih banyak menyajikan tempat-tempat wisata berahi yang telah dilegalkan oleh negaranya, baik secara langsung maupun yang masih terselubung tapi tetap dilindungi pemerintah. Selain itu, pembaca akan diajak ke Zurich, Swiss, yang membuka tempat wisata kontroversial, yaitu wisata bunuh diri. Ssiapa saja boleh bunuh diri di sana dengan bantuan medis (suntik mati), dengan syarat wisatawan tersebut dalam keadaan sakit keras.
Sumber : Kompas

Hedonisme dan Pembelokan Makna





Seseorang dinyatakan mencapai kebahagiaan apabila dia dapat menggunakan akal budi dan rasionya dengan baik. Orang yang berakal budi tidak akan mau ‘makan sendiri’ kebahagiaannya.

Ada lagi berita hangat dari para petinggi negeri ini. Busyro Muqoddas, Ketua Komisi  Pemberantasan Korupsi (KPK), yang selama ini dikenal hemat bicara, tiba-tiba saja berbicara dan mengritik dengan lantang. Kritikannya pun pedas. Tak tanggung-tanggung, kali ini yang menjadi sasaran kritikannya adalah DPR, yang selama ini sering berbeda pendapat dengan KPK.

Busyro Muqoddas menuding sebagian anggota DPR menonjolkan gaya hidup mewah. Lebih lanjut, Muqoddas menyatakan bahwa gaya hidup mewah itulah salah satu sumber perilaku korupsi.

Tudingan itu sontak menjadi berita hangat di media, baik televisi maupun koran. Media televisi, misalnya memperlihatkan lapangan parkir gedung DPR tak ubahnya seperti pameran mobil mewah. Tampaknya, hedonisme sudah merasuki sebagian anggota DPR.

Sebenarnya, gaya hidup mewah di kalangan anggota DPR ini bukanlah cerita baru. Lihat saja gaji dan fasilitas yang mereka dapatkan. Penghasilan yang melebihi Rp50 juta per bulan masih dirasa kurang. Konon, DPR masih mendapat bantuan untuk membeli mobil. Barangkali, para pembaca masih mengingat usulan dana 15 miliar per tahun untuk setiap anggota DPR dengan kedok dana aspirasi itu. Untung saja itu tidak jadi diberikan.

Anggota DPR pun langsung bereaksi bagaikan kebakaran jenggot. Ada yang menuding hal itu adalah reaksi atas kegundahan Busyro menjelang pemilihan Ketua KPK. Tanggapan ini tidaklah mengherankan. Sudah amat terbiasa para pejabat negeri ini berargumen sesat begitu. Tanggapan ditujukan untuk menyerang orangnya, bukan menanggapi argumen yang diajukan.

Terlepas dari apakah tuduhan Busyro Muqoddas benar, fakta menunjukkan bahwa perilaku hedonistis, egois, dan materialisitis sudah merasuki orang dari berbagai lapisan di negeri ini, termasuk para pejabat. Praktek menghalalkan segala cara untuk mendapat uang atau jabatan, yang dianggap sebagai sumber kenikmatan dan kebahagiaan, merupakan indikasinya. Lihat saja, orang tidak lagi malu masuk penjara karena korupsi. Ada juga kelompok orang yang menyambut dan mengelu-elukan orang (tokoh) yang baru keluar dari penjara. Memalukan!

Hedonisme

Kata hedonisme berasal dari kata hedonismos (Yunani). Akar katanya adalah hedone, yang berarti kesenangan. Hedonisme adalah paham yang menyatakan bahwa yang baik adalah yang dapat memuaskan keinginan manusia dan yang meningkatkan kuantitas kesenangan itu. Hedonisme juga beranggapan bahwa orang akan menjadi bahagia dengan mencari kebahagiaan sebanyak mungkin dan bahwa kesenangan atau kenikmatan merupakan tujuan hidup dan tindakan manusia.

Hedonisme lahir untuk menjawab pertanyaan filsafat “Hal apa yang terbaik bagi manusia? Atau, apa tujuan akhir hidup manusia?” Salah seorang tokoh hedonisme adalah Arstippos (433-355 SM), seorang filsuf Yunani. Aristippos mengatakan bahwa hal terbaik bagi manusia adalah kesenangan. Selanjutnya, Epikuros (341-270 SM) menyatakan bahwa keinginan manusia untuk mencari kesenangan adalah hal yang wajar.

Akan tetapi, walaupun Aristippos menjunjung tinggi kesenangan, dia sendiri membatasi kesenangan itu dengan pengendalian diri. Demikian juga halanya dengan Epikuros. Epikuros menganjurkan untuk mendapatkan kesenangan itu dengan kesederhanaan, kebijaksanaan, dan ketenteraman jiwa.

Pembelokan makna
Hedonsime sekarang mengidentikkan kesenangan dengan kemewahan. Itu adalah  pembelokan makna dari kebahagiaan. Aristoteles, salah seorang tokoh etika, mengemukakan bahwa tujuan akhir dari hidup manusia adalah kebahagiaan (eudaimonia). Inilah yang melahirkan paham eudaimonisme. Eudaimonisme ingin meluruskan makna kesenangan dengan kebahagiaan. Menurut paham ini kebahagiaan tidak dapat dicapai dengan uang atau kemewahan.

Seseorang dinyatakan mencapai kebahagiaan jika dia dapat menjalankan perannya dengan baik, lebih tepatnya apabila dia dapat menggunakan akal budi dan rasionya dengan baik. Orang yang berakal budi tidak akan mau ‘makan sendiri’ kebahagiaannya. Dia akan membaginya dengan orang lain. Artinya, kebahagiaan yang diperolehnya tidaklah beralaskan penderitaan orang lain. Orang yang bahagia dalam arti yang sebenarnya adalah orang yang tidak egoistis. Inilah yang menjadi landasan bagi etika eudaiominstis.

Boleh jadi, para anggota DPR berdalih bahwa mereka sudah kaya dan sudah terbiasa hidup mewah sebelum menjadi anggota DPR. Tidak ada yang salah dengan gaya hidup mereka.  Memang, persoalannya bukan benar-salah, tetapi etis-tidak etis, atau patut-tidak patut.

Gaya hidup hedonistis yang dipertontonkan sebagian anggota DPR hanya akan menambah sedih hati rakyat di tengah penderitaan yang mereka hadapi. Dengan cara itu, DPR sedang membangun tembok pemisah dengan rakyat. Seyogianyalah DPR membanguan jembatan penghubung antara mereka dengan rakyat dan membagi sedikit kebahagiaan itu dengan rakyat. Memertontonkan mobil mewah di saat rakyat sedah berjuang menahan rasa laparnya bukanlah perbuatan yang etis.

Dalam berbagai kesempatan, DPR mengaku bahwa mereka adalah wakil rakyat. Akan tetapi, pada kenyataannya itu lebih dimaknai sebagai perwakilan tubuh (jumlah suara) semata. Padahal, Anda semua tidak hanya mewakili tubuhnya, Anda juga mewakili perasaan dan suasana hatinya.

HEDONISME

ARTIKEL TENTANG HEDONISME


Hedonisme adalah pandangan hidup yang menganggap bahwa kesenangan dan kenikmatan materi adalah tujuan utama hidup. Bagi para penganut paham ini, bersenang-senang, pesta-pora, dan pelesiran merupakan tujuan utama hidup, entah itu menyenangkan bagi orang lain atau tidak. Karena mereka beranggapan hidup ini hanya sekali, sehingga mereka merasa ingin menikmati hidup senikmat-nikmatnya. di dalam lingkungan penganut paham ini, hidup dijalani dengan sebebas-bebasnya demi memenuhi hawa nafsu yang tanpa batas. Dari golongan penganut paham inilah muncul
Nudisme (gaya hidup bertelanjang). Pandangan mereka terangkum dalam pandangan Epikuris yang menyatakan,"Bergembiralah engkau hari ini, puaskanlah nafsumu, karena besok engkau akan mati".
 Gejala hedonisme ?
Rasa gengsi tinggi yang diperoleh dari menonjolkan merek-merek terkenal dan mahal, atau simbol-simbol kemewahan lainnya adalah merupakan gejala umum sekarang ini. Lihat saja di kota-kota besar saat ini semakin banyak bermunculan butik-butik atau toko-toko pakaian dan perlengkapan lainnya yang merupakan barang impor dan bermerek dengan harga yang, wow, membuat jantung saya berdegup kencang, dimana harga selembar baju kaos (T Shirt) dengan tulisan seadanya "cuma" sebesar Rp. 250.000,-. Berdegup kencang bukan hanya karena kaget melihat harga yang fantastis tapi juga deg-degan didekati si pelayan toko, karena takut dan malu kalau ditanya, "Ada yang bisa dibantu, Pak ?" Dan saya hanya bisa menjawab, "Ngga, lihat-lihat saja."
Melihat harga-harga fantastis dari toko-toko yang biasanya menambahkan nama surf pada nama tokonya tersebut, maka menjadi maklumlah saya kenapa orang-orang menjadi begitu bangga walaupun hanya membawa kantong kreseknya kemana-mana. Dan akhirnya saya pun bisa maklum kenapa teman saya bergitu bangganya membawa tas kulit bulukannya ke mana-mana.